Menurut Black’s Law Dictionary korupsi adalah perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi
dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau
karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang
lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.
Kasus tersebut merajai perjalanan keuangan yang ada di berbagai
negara. Tak hanya di negara berkembang, negara maju seperti Amerika Serikat pun
tidak lepas dari kasus korupsi. Perbuatan yang merugikan negara ini dilakukan
oleh kalangan atas (pejabat pemerintahan.red) yang secara logika tentu
berkecukupan harta.
Contohnya Angelina Patricia Pingkan Sondakh atau
Angelina
Sondakh yang merupakan salah satu
anggota DPR, dalam kasus korupsi Kasus Wisma Atlet SEA Games Palembang dan
Kemendikbud berawal dari 'nyanyian' para tersangka 'pendahulunya' yang ditangkap
terlebih dulu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sementara
rakyat yang serba kekurangan semakin menderita akibat perbuatan mereka. Benar
adanya lagu yang dibuat bang Haji Roma Irama ,”Yang kaya makin kaya,yang miskin
makin miskin...”.
Korupsi terjadi
bukan karena kemiskinan dan kebodohan tetapi karena krisis kejujuran. Adapun
kemiskinan dan kebodohan itu sendiri merupakan dampak dari perbuatan korupsi.
Korupsi sebenarnya tidak hanya terjadi pada keuangan saja namun bisa terjadi
pada kedudukan, waktu, pendidikan, dan masih banyak lagi. Korupsi yang paling
marak saat ini di dunia pendidikan adalah kasus mencontek. Bahkan hampir 80%
pelajar tak lepas dari mencontek. Seperti halnya para pejabat yang melakukan
apa saja demi kekayaan yang tinggi karena berbagai alasan. Ada yang supaya
tidak dimarahi orang tua, ada yang karena gengsi , ada yang agar jadi juara,
ada yang supaya masuk perguruan tinggi, dsb.
Tidak
hanya pada siswa SMA, siswa SD pun bahkan tidak asing lagi dengan perbuatan
mencontek. Dinding kejujuran lama kelamaan terkikis, bahkan hampir roboh.
Masyarakat
berbondong-bondong menghujat para pejabat yang korupsi uang negara, sementara
mereka tidak menyadari, bahwa disekitar mereka ada para koruptor cilik yang suatu
saat nanti bisa jadi “The Next Of Gayus
Tambunan”.
Bukankah
dengan kecurangan-kecurangan tersebut nantinya malah akan merugikan mereka?
Mungkin pada awalnya mereka mendapat keuntungan , namun pada ujumgmya nanti
pasti menumbuhkan penyesalan. Seperti halnya para koruptor ,pada awalnya mereka
bahagia serta bergelimangan harta, namun ketika kejahatannya terbongkar, harta
yang awalnya bagai surga dunia berubah jadi neraka. Sedangkan pada pelajar yang
hobi mencontek pada awalnya mungkin mereka akan mendapat nilai yang bagus
karena bantuan temannya. Namun ketika nanti mereka mengikuti tes SNMPTN di
perguruan tinggi, siapa yang akan membantu mereka?
Kini
hukum sudah tidak bisa mengatasi kasus korupsi. Buktinya meskipun banyak contoh
para koruptor yang menderita hingga meregang nyawa, masih saja ada
koruptor-koruptor baru. Yang harus kita lakukan sekarang adalah membasmi
korupsi dimulai dari akar-akarnya. Tanamkan kejujuran sejak dini dalam segala
hal baik dalam keuangan, pendidikan, maupun waktu. Hentikan koruptor-koruptor
cilik agar tidak menumbuhkan koruptor di masa yang akan datang.
Keseimbangan Kualitas Guru dan
Murid
Kasus
lempar cotekan hingga SMS jawaban kini makin menjadi. Tidak bias dibedakan mana
yang nilai murni ataupun nilai manipulasi. Tidak mengenal tingkat usia pelajar
yang melakukannya. Dari SMA yang pada umumnya paling banyak terjangkit, hingga
SD yang tampaknya terlalu nurut perintah gurunya. Bahkan seandainya di tingkat
TK itu ada semacam ujian tulis bias dipastikan kecurangan (korupsi jawaba.red)
itu bias terjadi.
Namun mirisnya
orang tua jaman sekarang malah tidak menyadari hal tersebut. Ada beberapa dari
orang tua murid yang bahkan menyuruh anaknya berbuat curang agar mendapat nilai
yang bagus. Obsesi mereka demi anak agar jadi juara (meski lewat jalur yang
salah) semakin menjadi. Serasa bangga ketika tetangga takjub berkata, “Anakmu
hebat, bias jadi juara!”. Namun mereka lupa bahwa cara kotor itu justru
membahayakan masa depan buah hatinya. Anak pun semakin terbelenggu dinding
keegoisan mereka hingga menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkannya.
Pihak
dinas pendidikan sudah berusaha sekuat tenaga agar siswa-siswinya mampu berlaku
jujur. Dari memperketat pengawasan hingga menambah kode soal. Bahkan terdengar
isu jika ujian tahun 2013 mendatang kode soal ditingkatkan menjadi 20 kode
soal. Namun hal tersebut bukan mengurangi, justru semakin meningkatkan
kecurangan siswa. Hal itu terlihat jelas pada Ujian Nasional tiap tahunnya
selalu saja ada yang mendapat bocoran jawaban. Dampak dari pemberian bocoran
jawaban tersebut bermacam-macam. Ada yang nilainya sampai diatas rata-rata
9,00. Namun ada juga yang hingga membuat seluruh siswa satu sekolah tidak lulus
semua dikarenakan bocorannya salah (sudah tidak jujur, tidak mujur pula).
Sayangnya
usaha Dinas Pendidikan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas
siswa maupun pengajarnya. Masih saja ada guru yang sering absen mengajar tanpa
alas an yang jelas. Banyak juga yang hanya membebani tugas tanpa bimbingan.
Tuntutan kurikulum yang selalu dijadikan alas an sebagai dalih agar siswa
semakin kreatif dalam menuntut ilmu. Akhirnya siswa pun terlalu dibiarkan dalam
belajar tanpa menyadari bahwa pada dasarnya siswa masih membutuhkan binaan guru
dalam menguasai materi disamping kreatifitasnya sesuai dengan tuntutan KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Seharusnya
ada keseimbangan antara kebijakan dan kualitas pendidikan. Siswa menjadi malas
belajar karena guru yang terlalu menuntut tanpa diimbangi kualitas pengajaran
yang baik. Pilihan terakhir siswa lebih memilih mencontek dengan alasan semalam
malas belajar dikarenakan gurunya jarang mengajar. Kemalasan pun pada akhirnya
berbuah kecurangan. Secara tidak langsung kasus kecurangan tersebut termasuk
korupsi kecil, meski tidak melibatkan keuangan namun dapat menurunkan kualitas
pendidikan. Yang menjadi PR kita semua saat ini ialah, bagaimana agar antara
kualitas pelajar dan pengajar itu bisa seimbang. Sehingga mutu pendididikan di
Indonesia mampu melahirkan generasi cerdas yang berkualitas.
“Barang
siapa yang bergembira dengan datangnya Bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan
jasadnya masuk neraka…”.
Ceramah dari ustad favoritku
terdengar merdu di telingaku. Malam ini adalah malam dimana kami menunaikan
sholat tarawih yang pertama ditahun ini. Antusiasme kami terpanggil untuk
datang ke masjid Al-Munawar menyambut bulan penuh berkah, bulan suci ramadhan.
Semuanya datang tanpa beban. Hingga Bang Yoni yang keterbelakangan mental pun
turut serta sholat tarawih meski tertatih-tatih. Sungguh pemandangan langka
yang teramat kurindukan. Suasana dimana masjid sesak dipenuhi warga. Suasana di
mana semua jama’ah menjawab dengan suara keras, “Shalu’alaihi….Shalu’alaihi….Rasulullah…!”,
seruan bilal di tengah pergantian raka’at. Ah…ramadhan memang penuh dengan
kejutan.
Ceramah usai, disambung
dengan pengucapan niat puasa bersama-sama. Nyanyian sang Imam mengantar
kepulangan para jama’ah diiringi irama bedug bertalu-talu. Para jama’ah
bergegas keluar disambut sandal-sandal yang turut bergembira berjumpa dengan
kawan seperjuangannya. Sandal-sandal beraneka rupa yang mengemban tugas yang
sama, sebagai alas kaki. Dari yang mulus hingga yang berlobus-lobus. Dari yang top care, hingga yang ceper. Semuanya
ditopang oleh bendayang sama, yaitu
sepasang sandal. Dan di antara sandal-sandal itulah sandal baruku berada.
Sandal jepit pemberian emakku sebagai ganti sandal lamaku yang putus. Sandal
jepit yang bisa dikatakan pula sebagai hadiah karena aku berhasil masuk sepuluh
besar di kelas. Mungkin bagi sebagian orang ia tak begitu berharga, tapi bagiku
ia begitu berarti. Di mana aku sudah lama merindukan kehadirannya setelah aku
putus hubungan dengan sandal lamaku. Bisa ku bayangkan saat ini ia masih setia
menanti, karena majikannya belum menampakkan diri. Bersama remaja masjid
lainnya, aku tetap tinggal untuk tadarus Al-Qur’an hingga larut malam.
Kami tadarus bergantian
dengan dua pengeras suara, satu untuk santri putra, satu untuk santri putri.
Antara santri putra dan putri dibatasi oleh hijab yang kokoh. Ada yang asik
ngerumpi karena kebagian giliran akhir, ada yang sibuk makan krupuk takjil dari
Bu Ustad, dan ada yang menyimak kawannya yang sedang tadarus. Aku pun sibuk dengan
tugas sekolahku, sembari berbincang dengan teman menunggu giliran. Aku tak
habis fikir, di setiap ramadhan aku selalu kebagian giliran tadarus paling
akhir. Dengan alasan, rumah ku
terkategori paling dekat dari santri lainnya. Sempat aku jengkelsaat giliranku semua teman tergeletak pulas tanpa
ekspresi. Begitu aku selesai mereka segera bangun kegirangan bergegas pulang.
Dan kini aku bagai berada di tengah-tengah korban perang sampit yang berkelana
ke alam petualangan mimpinya. Ada yang mendengkur, ada pula yang terpekur.
“Sudah Is....?”, tanya Ulma sang juara yang berhasil bangun lebih awal di
antara finalis lainnya sambil menoleh padaku.
“Sudah Ul...dari tadi. Tuh santri cowok udah pada bubar...”, sahutku
sembari mengembalikan Al-Qur’an ke lemari hitam di sudut ruangan.
“Eh bangun-bangun...pulang teman-teman...”, seru Ulma kepada para finalis
lomba tidur paling pulas di seantero kampung Sukoharjo. Seperti mendengar
komando dari komandan perang, pasukan yang terlelap tadi tergagap-gagap dan bergegas
berbenah diri. Ada yang masih menguap ditambah mengucek mata, ada pula yang
masih asik melanjutkan mimpi indahnya. Namun lima menit kemudian semuanya bangkit membawa barang
bawaannya. Aku sempat tertawa melihat Imah dengan mata yang masih berat
melangkah dengan gontai hampir menabrak pintu masjid. Kini kami bergegas menuju
pujaan kakinya masing-masing. Mereka tampak berserakan karena diinjak-injak
jamaah lainnya. Mataku terus mencari-cari, “Dimana dirimu kini sandal hijau
kesayanganku...”, fikirku mulai cemas. Ku itari seisi teras masjid, namun tak
ku temukan juga. Hatiku bimbang saat satu per satu temanku pergi
meninggalkanku.
“Nggak tahu Il...tadi kutaruh di sini...Tapi sekarang kok nggak
ada.”,jawabku panik.
“Masak ? Kamu lupa naruh mungkin?”. Ucap Ila cemas.
“Kemana ya? Ayo ku bantu nyari...?”, hibur Ila yang segera membantuku
mencari hilangnya sandalku.
Kami cari dan terus mencari hingga ke semua penjuru
masjid. Katak-katak yang istirahat terusik, jangkrik-jangkrik yang bernyanyi
pun berhenti mengerik. Inci demi inci kami telusuri, namun yang dicari tak
kunjung pasti. Kami pun putus asa dan memutuskan untuk pulang meski dengan kaki
telanjang. Beralaskankan tanah dan kerikil yang menggelitik urat saraf kakiku.
Menambahkan rasa kesal di dadaku yang tak menentu. Mulai terbayang wajah emakku yang saat ini tertidur pulas. “Ah, maafkan aku mak, aku mengecewakanmu. Sandal baruku tak setia”, ucapku
dalam hati. Aku terus melangkah dengan Ila tanpa banyak bicara. Dalam hatiku
tersimpan seribu tanda tanya. Malam ini takkan ku lupakan seumur hidupku.
Tarawih malam ini berjalan seperti
hari kemarin. Suasana tarawih di hari ke-2 makin terasa karena seharian tadi
kita berpuasa. Namun hal tersebut tak begitu ku nikmati karena hilangnya sandal
biasa namun berhargaku kemarin. Aku harus merelakan pergi ke masjid tanpa
sandal. emakku belum mempunyai uang yang cukup untuk membelikannya
lagi. sementara biaya daftar ulang serta buku LKS ku belum lunas terbayar. Gaji
bapak yang kami nanti masih lama datangnya. Kekhusyukan shalat tak ku rasakan
nikmatnya.
Selama tadarus berlangsung aku hanya
diam. Yang ku ingat hanya kata-kata emakku yang selalu terngiang di telinga.
“Yah Is-Is....tuh sandal emak beli
susah-susah. Nggak ngerti orang lagi krisis apa tu maling...puasa-puasa
lagi...”, namun Sarah si mata sipit membuyarkan lamunanku.
“Is...ikut aku yuk...disuruh Bu Haji
ngambil air minum nih...”.
“Ah....sandalku gimana?”,
“Udah...pinjem punya Ila....ya nggak
La?”, ucap Sarah sambil menoleh ke arah Ila.
“Yups...pinjam punyaku aja
Is,,,,nggak apa-apa”, jawab Ila.
Akupun mengiyakan bergegas
keluar hendak mengenakan sandal Ila yang berwarna merah jambu. Ukurannya lebih
kecil dari ukuran kakiku namun aku nyaman mengenakannya. Terbayang sandal
hijauku yang hilang kemarin,”Di mana kamu sekarang sandal
kesayanganku...”,fikirku konyol. Segera ku alihkan pandanganku pada Sarah yang
tampak bingung. Ia mondar-mandir mengamati satu per satu sandal yang ada. Aku
tahu betul, sandal Sarah mahal, oleh-oleh kakaknya yang jadi TKW di Hongkong.
Sarah mulai panik. Ku hampiri dia, sebelum ku tanyakan mengapa, dia sudah
mendahuluiku,”Ais...sandalku hilang...”.
“Lima hari puasa, lima sandal hilang
entah kemana...”, ucap Sherly puitis sambil menunjukkan lima jari tangannya.
“Iya...sampai aku sekarang telanjang
kaki kalau ke masjid. Emakku belum punya uang buat beli yang baru. Bapak juga
belum gajian...”, tambahku memelas disusul gelak tawa kawan-kawanku.
“Kasihan kamu...tega banget sih tu
maling. Kalau begini caranya besok atau lusa giliran sandalku yang ilang. Bawa
sandal jelek aja kalau gitu nanti....”, timpal Ila.
“Alah...jelek atau nggak sama aja...
Tuh maling nggak pilih-pilih...Punyaku yang udah korengan pun diambilnya...”,
Siti yang semalam kehilangan sandal menegaskan.
“Wadaw...dasar tuh maling. Siapa ya
kira-kira pelakunya...?”, kata Ila.
Semua peserta konferensi meja kotak
dengan jumlah empat orang tersebut diam memutar otak. Ada yang membayangkan
pencuri itu pakai pakaian serba hitam membawa karung corak bintang-bintang. Ada
pula yang membayangkan maling itu pakai pakaian belang-belang mirip tahanan yang ada di TV. Yang paling lucu adalah bayangan
Siti, ia membayangkan maling tersebut bisa menghilang dan muncul sewaktu-waktu,
seperti para pemain laga di film Tutur
Tinular yang berilmu sakti.
“Teeeet....teeeet....teeeet....”,
bel tanda jam pelajaran berakhir menghentikan lamunan konyol kami. Tanpa
basa-basi kami semua mengemasi buku-buku dan bergegas pulang. Selama bulan
ramadhan, pelajaran tidak berjalan efektif. Guru jarang masuk kelas. Sebagai
siswa, konyolnya kami menganggap itu anugrah Tuhan yang patut disyukuri.
Menunggu bel pulang untuk berkumpul dengan komunitasnya masing-masing. Seperti
biasa aku, Sherly, Ila dan Siti berasal dari kampung yang sama dan sangat dekat
dari sekolah kami, MA Darul Hikmah. Kami berangkat dan pulang bersama dengan
jalan kaki. Ditambah lagi kami berempat merupakan bagian dari remaja masjid Al-Munawar, kebersamaan kami semakin terasa.
Di perjalanan pulang kami
berbincang-bincang dan bercanda. Kami lewati jalan setapak yang berbatu. Ketika
kami belok di sebuahgang kami
bersimpangan dengan Bu Rokah yang jalan tergopoh-gopoh tanpa menyapa. Ia
bergerak bagai dikejar setan ompong di siang bolong. Setelah Bu Rokah
meninggalkan kami tiba-tiba Sherly menghentikan langkah kami.
“Kalian lihat nggak sandal Bu
Rokah?”, tanyanya sambil menoleh ke arah Bu Rokah. Seketika pandangan kami
tertuju pada sandal yang dikenakan Bu Rokah.
“Emangnya kenapa?”, tanya kami
hampir bersamaan.
“Mirip punya Imah yang hilang kemarin,”, jawab Sherly.
“Ah...aku rasa sandal kayak gitu di
pasar banyak.”, sahutku tanpa basa-basi.
“Eits,,,,tunggu dulu. Kalian masih
inget sandal Sarah yang dibelikan mbaknya kemarin dari Hongkong? Aku lihat si
Tamrina, anak pertamanya Bu Rokah yang Cuma jualan sayur itu pakai persis,
ukuran dan warnanya sama punya Sarah. Masak ada sih yang jualan sandal kayak
gitu di sini? Kalau toh ada harganya pasti mahal...”, cerita Sarah penuh
semangat seperti seorang orator yang meyakinkan pendengarnya.
“Masak sih?”, tanya Siti kaget.
Kami berempat terdiam
sejenak terbawa cerita Sherly tadi, membayangkan kondisi rumah Bu Rokah di
ujung kampung dekat sungai kumuh yang reyot hampir roboh. Sejak ditinggal
suaminya, kondisi keluarganya makin susah. Bersama ke
lima anaknya ia menjalani
hari-harinya menjadi seorang penjual sayur. Namun benarkah dia rela mencuri
sandal karena himpitan ekonomi? Fikiran kami melancong kemana-mana.
Kabar tentang hilangnya
sandal-sandal santriwan-santriwati masjid Al-Munawar makin meluas. Tak hanya di kalangan remaja, namun
menyebar hingga kalangan dewasa. Semuanya dirundung rasa penasaran tentang
siapa sebenarnya maling sandal tersebut. Sudah terhitung sekitar 27 sandal yang
hilang. Masyarakat yang menjadi korban pencurian sandal tersebut merasa sangat
kecewa. Masjid yang seharusnya jadi tempat pencipta ketenangan justru dirasakan
menjadi tidak aman. Bahkan ada beberapa masyarakat yang tidak memakai sandal ke
masjid. Mereka mengantisipasi agar tidak kehilangan sandal. Jama’ah makin
berkurang, mereka memilih shalat tarawih ke masjid lain.
Sebagai remaja masjid,
kami merasa kawatir dengan keadaan tersebut. Hal ini tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan dikoordinasi Ikhwan sang ketua Remaja Masjid Al-Munawar,
kita mengadakan rapat anggota. Hari ini, dengan formasi melingkar kami serius
membicarakan kasus hilangnya sandal jepit yang menelan banyak sandal tak
berdosa. Ada yang lirik-lirikan, ada yang sibuk ngrumpiin baju baru, dsb. Lucu
juga melihat mereka riuh berbicara satu sama lainnya setelah hijab yang lama
ditutup tersingkap. Namun tiba-tiba sang ketua menenangkan suasana,
“Diam…teman-teman. Assalamu’alaikum Wa rohmatullohi wa barokatuh….”. setelah
semua menjawab salam dan suasana mulai tenang, ia memulai rapat. “Melihat kasus
hilangnya sandal jepit tersebut, kita sebagai anggota remaja masjid Al-Munawar
punya tanggung jawab atas itu. Apakah ada usulan?”.
Semua
terdiam hening tanpa suara. Ku pandangi wajah Siti yang tak berkedip mengamati
wajah Ikhwan, pujaan hatinya. Satu per satu peserta rapat menyampaikan
usulannya. Aku mendengarkan dengan seksama. Suasana mulai tegang. Berbagai
argumen telah dilontarkan. Selang beberapa menit kemudian, aku mencoba
menyampaikan sebuah tak-tik.
“Lapor…
saya ada usulan!”, ucapku sambil mengacungkan tangan.
“Silahkan…”,
jawab Ikhwan sang ketua dengan lembut.
“Bagaimana
kalau kita menggunakan sebuah tak-tik….”,
semua mulai diam mendengarkan dengan seksama, lalu ku lanjutkan kalimat
selanjutnya.
“Kita
sangat membutuhkan bantuan dari teman-teman yang berhalangan, atau lagi
menstruasi. Pada waktu sholat tarawih berlangsung, mereka mengawasi dari
kejauhan. Pengawasan bisa dilakukan di bawah pohon beringin, atau di bawah
pagar. Yang lain tetap sholat seperti biasa. Pada waktu tadarus, yang belum
kebagian giliran jaga-jaga di luar….”, ku akhiri usulanku melihat raut muka
serius dari para peserta.
“Setuju
sama usulan Ais…”, seru Arga sambil mengacungkan jempol, disambung riuh peserta
lain membuatku malu. Ah, gossip antara Arga dan aku sangat menggangguku,
padahal sama sekali kita tidak ada hubungan special apapun. Suasana segera
ditenangkan oleh sang ketua, “Tenang dulu teman-teman…saya setuju dengan usulan
Ais. Bagaimana dengan teman-teman?”, ucapnya sambil melemparkan pandangannya ke
semua peserta. Secara serempak peserta menjawab, “Setuju…!”. Rapat pun masih berlanjut
disusul dengan penyusunan tak-tik dan
pembagian tugas.
Rapat selesai hingga pukul 24.00 WIB. Kami pulang ke
rumah masing-masing membawa tugas esok yang siap kami laksanakan. Ada yang
tetap tinggal untuk ronda menunggu waktu sahur. Fikiran kami mulai dipenuhi
bayangan si pencuri misterius itu segera tertangkap, dan jama’ah masjid kembali
melimpah. Sandal-sandal tak berdosa itu segera kembali. Aku mulai tersenyum
lega, meski sekarang emak sudah membelikanku yang baru namun enggan ku pakai ke
masjid. Aku takut sandalku itu hilang lagi. “Dan esok, Si PS alias Pencuri
Sandal itu akan segera tertangkap”, fikirku lagi penuh harap.
Tarawih
malam ini berjalan seperti biasa. Kebetulan aku dan tiga temanku yang
berhalangan tidak sholat mengawasi situasi sandal di masjid. Rumah ustad yang
terletak dekat masjid tampak sunyi, karena malam itu kami dengar kabar bahwa
salah satu putrinya yang kelainan jiwa sedang sakit. Ibunya tetap di rumah menemani
putrinya yang sakit tersebut. Nyamuk
mulai berdatangan. Di balik pagar ini kami menanti dan terus mengamati. Raka’at
demi raka’at terus berganti. Seruan bilal disambut suara jama’ah menggema
hingga pagar kayu ini, tempat dimana kami, para pahlawan sandal bertengger.
Suasana sekitar sandal masih tetap biasa saja. Tidak ada aroma mencurigakan sama
sekali. Kami mulai bosan menderita gatal-gatal akibat gigitan nyamuk yang
nakal. Ditambah lagi aroma dingin yang menusuk tulang. “Hufh, perjuangan kami
malam ini harus berhasil,maling….di mana kamu?”,fikirku.
Hingga
sholat tarawih berakhir, pencuri itu tidak memperlihatkan batang hidungnya.
Kesal menyeruak dalam dada kami. Mungkin saja pencuri tersebut mengetahui tak-tik kami. Di mana dia bisa tahu? Rencana
kami tidak membuahkan hasil. Di saat lagi kesalnya, kami kaget melihat sosok
berjubah putih di belakang kami. Keringat kami bercucuran, mulut kami terbungkam.
Lemas rasanya saat makhluk itu menyapa kami,
“Allahu
Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar…Laa Ila Ha Ilallahu Wallahu Akbar…Allahu Akbar
Wa Lillahil Hamdu…”.
Suara
takbir menggema menyeruak ke segala penjuru. Malam penuh nikmat yang dinantikan
hadir menumbuhkan kebahagiaan ke sanubari. Ramadhan usai, disusul dengan malam
takbir penuh syahdu. Rumah-rumah penduduk terang benderang memancarkan cahaya
kemenangan. Senyum tulus terukir indah di setiap wajah umat muslim. Harapanku,
kami bisa bertemu dengan Ramadhan berikutnya, amin. Ah, tak terkira
kebahagiaanku malam ini. Meski tanpa baju baru, tapi inilah malam dimana semua
umat islam sedunia mengumandangkan irama takbir beramai-ramai. Seperti mereka
pada umumnya aku pun ingin bersama teman-teman takbir di masjid. Seusai berbuka
dan menata makanan di meja, aku bergegas menuju masjid bersama temanku.
Di
perjalanan kami berbincang-bincang tentang topik kejadian kemarin. Aku dan tiga
temanku terkekeh mengingat kami kemarin kena hukum Pak Ustad. Bukannya
menemukan maling sandal, tapi kita di hukum membersihkan tempat wudhu yang
sudah lama tak pernah dikuras. Kami tak berani membantah. Ah, cerdas sekali
maling tersebut. Pengalaman malam itu tak kan kami lupakan. Di tengah kesal
yang menyeruak di tambah hukuman Pak Ustad yang menguras tenaga, misteri Si
Pencuri Sandal tersebut belum tersibak.
Tibalah
kami di jalan kecil depan masjid. Suasana tampak ramai di bagian teras masjid.
Tampaklah anak Pak Ustad yang kelainan jiwa tersebut di antara puluhan sandal
yang tertata rapi. Dengan wajahnya yang tampak cerah ia meneriakkan suaranya,
“Di pilih-di pilih…sandal bagus. Dari
yang seribu rupiah, hingga seratus ribu rupiah ada. Bagi yang berminat hubungi
saya. Akan mendapat sandal cantik beserta bonusnya, yaitu senyum manis dari
saya…”. Aku dengan ragu melangkah dengan teman-temanku menuju tempat yang
menjadi pusat perhatian tersebut. Tampak para warga yang melihat dengan wajah
prihatin dan tak percaya. Aku pun demikian adanya. Saat ku dekati, mataku
langsung tertuju pada sandal hijau yang tergeletak manis di pojok meja. Dia
seolah-olah memanggilku minta tolong. Aku masih tetap saja terpaku. Ku pandangi
lagi sandal-sandal yang lain. Di bagian paling atas,tampak sandal paling
mencolok berwarna merah. Bisa ku tebak itu sandal Sarah yang dari Hongkong.
Wajah Bu Rokah yang sempat ku curigai mulai terbayang, aku merasa bersalah.
Yang paling bawah dan tampak tak terurus, sandal Siti yang korengan berada.
Hah, aku masih tak percaya beserta korban-korban sandal yang tak berdaya
lainnya. Ku pandangi tiga kata di tulis dengan huruf besar-besar di atas kertas
kardus dan ku baca dalam hati, “SANDAL-SANDAL HAMIDAH”. Cita-cita Hamidah, anak Pak Ustad yang gila
untuk menjadi pengusaha sandal tersebut tercapai pada malam takbir ini.
“Barang
siapa yang bergembira dengan datangnya Bulan Ramadhan, maka Allah mengharamkan
jasadnya masuk neraka…”.
Ceramah dari ustad favoritku
terdengar merdu di telingaku. Malam ini adalah malam dimana kami menunaikan
sholat tarawih yang pertama ditahun ini. Antusiasme kami terpanggil untuk
datang ke masjid Al-Munawar menyambut bulan penuh berkah, bulan suci ramadhan.
Semuanya datang tanpa beban. Hingga Bang Yoni yang keterbelakangan mental pun
turut serta sholat tarawih meski tertatih-tatih. Sungguh pemandangan langka
yang teramat kurindukan. Suasana dimana masjid sesak dipenuhi warga. Suasana di
mana semua jama’ah menjawab dengan suara keras, “Shalu’alaihi….Shalu’alaihi….Rasulullah…!”,
seruan bilal di tengah pergantian raka’at. Ah…ramadhan memang penuh dengan
kejutan.
Ceramah usai, disambung
dengan pengucapan niat puasa bersama-sama. Nyanyian sang Imam mengantar
kepulangan para jama’ah diiringi irama bedug bertalu-talu. Para jama’ah
bergegas keluar disambut sandal-sandal yang turut bergembira berjumpa dengan
kawan seperjuangannya. Sandal-sandal beraneka rupa yang mengemban tugas yang
sama, sebagai alas kaki. Dari yang mulus hingga yang berlobus-lobus. Dari yang top care, hingga yang ceper. Semuanya
ditopang oleh bendayang sama, yaitu
sepasang sandal. Dan di antara sandal-sandal itulah sandal baruku berada.
Sandal jepit pemberian emakku sebagai ganti sandal lamaku yang putus. Sandal
jepit yang bisa dikatakan pula sebagai hadiah karena aku berhasil masuk sepuluh
besar di kelas. Mungkin bagi sebagian orang ia tak begitu berharga, tapi bagiku
ia begitu berarti. Di mana aku sudah lama merindukan kehadirannya setelah aku
putus hubungan dengan sandal lamaku. Bisa ku bayangkan saat ini ia masih setia
menanti, karena majikannya belum menampakkan diri. Bersama remaja masjid
lainnya, aku tetap tinggal untuk tadarus Al-Qur’an hingga larut malam.
Kami tadarus bergantian
dengan dua pengeras suara, satu untuk santri putra, satu untuk santri putri.
Antara santri putra dan putri dibatasi oleh hijab yang kokoh. Ada yang asik
ngerumpi karena kebagian giliran akhir, ada yang sibuk makan krupuk takjil dari
Bu Ustad, dan ada yang menyimak kawannya yang sedang tadarus. Aku pun sibuk dengan
tugas sekolahku, sembari berbincang dengan teman menunggu giliran. Aku tak
habis fikir, di setiap ramadhan aku selalu kebagian giliran tadarus paling
akhir. Dengan alasan, rumah ku
terkategori paling dekat dari santri lainnya. Sempat aku jengkelsaat giliranku semua teman tergeletak pulas tanpa
ekspresi. Begitu aku selesai mereka segera bangun kegirangan bergegas pulang.
Dan kini aku bagai berada di tengah-tengah korban perang sampit yang berkelana
ke alam petualangan mimpinya. Ada yang mendengkur, ada pula yang terpekur.
“Sudah Is....?”, tanya Ulma sang juara yang berhasil bangun lebih awal di
antara finalis lainnya sambil menoleh padaku.
“Sudah Ul...dari tadi. Tuh santri cowok udah pada bubar...”, sahutku
sembari mengembalikan Al-Qur’an ke lemari hitam di sudut ruangan.
“Eh bangun-bangun...pulang teman-teman...”, seru Ulma kepada para finalis
lomba tidur paling pulas di seantero kampung Sukoharjo. Seperti mendengar
komando dari komandan perang, pasukan yang terlelap tadi tergagap-gagap dan bergegas
berbenah diri. Ada yang masih menguap ditambah mengucek mata, ada pula yang
masih asik melanjutkan mimpi indahnya. Namun lima menit kemudian semuanya bangkit membawa barang
bawaannya. Aku sempat tertawa melihat Imah dengan mata yang masih berat
melangkah dengan gontai hampir menabrak pintu masjid. Kini kami bergegas menuju
pujaan kakinya masing-masing. Mereka tampak berserakan karena diinjak-injak
jamaah lainnya. Mataku terus mencari-cari, “Dimana dirimu kini sandal hijau
kesayanganku...”, fikirku mulai cemas. Ku itari seisi teras masjid, namun tak
ku temukan juga. Hatiku bimbang saat satu per satu temanku pergi
meninggalkanku.
“Nggak tahu Il...tadi kutaruh di sini...Tapi sekarang kok nggak
ada.”,jawabku panik.
“Masak ? Kamu lupa naruh mungkin?”. Ucap Ila cemas.
“Kemana ya? Ayo ku bantu nyari...?”, hibur Ila yang segera membantuku
mencari hilangnya sandalku.
Kami cari dan terus mencari hingga ke semua penjuru
masjid. Katak-katak yang istirahat terusik, jangkrik-jangkrik yang bernyanyi
pun berhenti mengerik. Inci demi inci kami telusuri, namun yang dicari tak
kunjung pasti. Kami pun putus asa dan memutuskan untuk pulang meski dengan kaki
telanjang. Beralaskankan tanah dan kerikil yang menggelitik urat saraf kakiku.
Menambahkan rasa kesal di dadaku yang tak menentu. Mulai terbayang wajah emakku yang saat ini tertidur pulas. “Ah, maafkan aku mak, aku mengecewakanmu. Sandal baruku tak setia”, ucapku
dalam hati. Aku terus melangkah dengan Ila tanpa banyak bicara. Dalam hatiku
tersimpan seribu tanda tanya. Malam ini takkan ku lupakan seumur hidupku.
Tarawih malam ini berjalan seperti
hari kemarin. Suasana tarawih di hari ke-2 makin terasa karena seharian tadi
kita berpuasa. Namun hal tersebut tak begitu ku nikmati karena hilangnya sandal
biasa namun berhargaku kemarin. Aku harus merelakan pergi ke masjid tanpa
sandal. emakku belum mempunyai uang yang cukup untuk membelikannya
lagi. sementara biaya daftar ulang serta buku LKS ku belum lunas terbayar. Gaji
bapak yang kami nanti masih lama datangnya. Kekhusyukan shalat tak ku rasakan
nikmatnya.
Selama tadarus berlangsung aku hanya
diam. Yang ku ingat hanya kata-kata emakku yang selalu terngiang di telinga.
“Yah Is-Is....tuh sandal emak beli
susah-susah. Nggak ngerti orang lagi krisis apa tu maling...puasa-puasa
lagi...”, namun Sarah si mata sipit membuyarkan lamunanku.
“Is...ikut aku yuk...disuruh Bu Haji
ngambil air minum nih...”.
“Ah....sandalku gimana?”,
“Udah...pinjem punya Ila....ya nggak
La?”, ucap Sarah sambil menoleh ke arah Ila.
“Yups...pinjam punyaku aja
Is,,,,nggak apa-apa”, jawab Ila.
Akupun mengiyakan bergegas
keluar hendak mengenakan sandal Ila yang berwarna merah jambu. Ukurannya lebih
kecil dari ukuran kakiku namun aku nyaman mengenakannya. Terbayang sandal
hijauku yang hilang kemarin,”Di mana kamu sekarang sandal
kesayanganku...”,fikirku konyol. Segera ku alihkan pandanganku pada Sarah yang
tampak bingung. Ia mondar-mandir mengamati satu per satu sandal yang ada. Aku
tahu betul, sandal Sarah mahal, oleh-oleh kakaknya yang jadi TKW di Hongkong.
Sarah mulai panik. Ku hampiri dia, sebelum ku tanyakan mengapa, dia sudah
mendahuluiku,”Ais...sandalku hilang...”.
“Lima hari puasa, lima sandal hilang
entah kemana...”, ucap Sherly puitis sambil menunjukkan lima jari tangannya.
“Iya...sampai aku sekarang telanjang
kaki kalau ke masjid. Emakku belum punya uang buat beli yang baru. Bapak juga
belum gajian...”, tambahku memelas disusul gelak tawa kawan-kawanku.
“Kasihan kamu...tega banget sih tu
maling. Kalau begini caranya besok atau lusa giliran sandalku yang ilang. Bawa
sandal jelek aja kalau gitu nanti....”, timpal Ila.
“Alah...jelek atau nggak sama aja...
Tuh maling nggak pilih-pilih...Punyaku yang udah korengan pun diambilnya...”,
Siti yang semalam kehilangan sandal menegaskan.
“Wadaw...dasar tuh maling. Siapa ya
kira-kira pelakunya...?”, kata Ila.
Semua peserta konferensi meja kotak
dengan jumlah empat orang tersebut diam memutar otak. Ada yang membayangkan
pencuri itu pakai pakaian serba hitam membawa karung corak bintang-bintang. Ada
pula yang membayangkan maling itu pakai pakaian belang-belang mirip tahanan yang ada di TV. Yang paling lucu adalah bayangan
Siti, ia membayangkan maling tersebut bisa menghilang dan muncul sewaktu-waktu,
seperti para pemain laga di film Tutur
Tinular yang berilmu sakti.
“Teeeet....teeeet....teeeet....”,
bel tanda jam pelajaran berakhir menghentikan lamunan konyol kami. Tanpa
basa-basi kami semua mengemasi buku-buku dan bergegas pulang. Selama bulan
ramadhan, pelajaran tidak berjalan efektif. Guru jarang masuk kelas. Sebagai
siswa, konyolnya kami menganggap itu anugrah Tuhan yang patut disyukuri.
Menunggu bel pulang untuk berkumpul dengan komunitasnya masing-masing. Seperti
biasa aku, Sherly, Ila dan Siti berasal dari kampung yang sama dan sangat dekat
dari sekolah kami, MA Darul Hikmah. Kami berangkat dan pulang bersama dengan
jalan kaki. Ditambah lagi kami berempat merupakan bagian dari remaja masjid Al-Munawar, kebersamaan kami semakin terasa.
Di perjalanan pulang kami
berbincang-bincang dan bercanda. Kami lewati jalan setapak yang berbatu. Ketika
kami belok di sebuahgang kami
bersimpangan dengan Bu Rokah yang jalan tergopoh-gopoh tanpa menyapa. Ia
bergerak bagai dikejar setan ompong di siang bolong. Setelah Bu Rokah
meninggalkan kami tiba-tiba Sherly menghentikan langkah kami.
“Kalian lihat nggak sandal Bu
Rokah?”, tanyanya sambil menoleh ke arah Bu Rokah. Seketika pandangan kami
tertuju pada sandal yang dikenakan Bu Rokah.
“Emangnya kenapa?”, tanya kami
hampir bersamaan.
“Mirip punya Imah yang hilang kemarin,”, jawab Sherly.
“Ah...aku rasa sandal kayak gitu di
pasar banyak.”, sahutku tanpa basa-basi.
“Eits,,,,tunggu dulu. Kalian masih
inget sandal Sarah yang dibelikan mbaknya kemarin dari Hongkong? Aku lihat si
Tamrina, anak pertamanya Bu Rokah yang Cuma jualan sayur itu pakai persis,
ukuran dan warnanya sama punya Sarah. Masak ada sih yang jualan sandal kayak
gitu di sini? Kalau toh ada harganya pasti mahal...”, cerita Sarah penuh
semangat seperti seorang orator yang meyakinkan pendengarnya.
“Masak sih?”, tanya Siti kaget.
Kami berempat terdiam
sejenak terbawa cerita Sherly tadi, membayangkan kondisi rumah Bu Rokah di
ujung kampung dekat sungai kumuh yang reyot hampir roboh. Sejak ditinggal
suaminya, kondisi keluarganya makin susah. Bersama ke
lima anaknya ia menjalani
hari-harinya menjadi seorang penjual sayur. Namun benarkah dia rela mencuri
sandal karena himpitan ekonomi? Fikiran kami melancong kemana-mana.
Kabar tentang hilangnya
sandal-sandal santriwan-santriwati masjid Al-Munawar makin meluas. Tak hanya di kalangan remaja, namun
menyebar hingga kalangan dewasa. Semuanya dirundung rasa penasaran tentang
siapa sebenarnya maling sandal tersebut. Sudah terhitung sekitar 27 sandal yang
hilang. Masyarakat yang menjadi korban pencurian sandal tersebut merasa sangat
kecewa. Masjid yang seharusnya jadi tempat pencipta ketenangan justru dirasakan
menjadi tidak aman. Bahkan ada beberapa masyarakat yang tidak memakai sandal ke
masjid. Mereka mengantisipasi agar tidak kehilangan sandal. Jama’ah makin
berkurang, mereka memilih shalat tarawih ke masjid lain.
Sebagai remaja masjid,
kami merasa kawatir dengan keadaan tersebut. Hal ini tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan dikoordinasi Ikhwan sang ketua Remaja Masjid Al-Munawar,
kita mengadakan rapat anggota. Hari ini, dengan formasi melingkar kami serius
membicarakan kasus hilangnya sandal jepit yang menelan banyak sandal tak
berdosa. Ada yang lirik-lirikan, ada yang sibuk ngrumpiin baju baru, dsb. Lucu
juga melihat mereka riuh berbicara satu sama lainnya setelah hijab yang lama
ditutup tersingkap. Namun tiba-tiba sang ketua menenangkan suasana,
“Diam…teman-teman. Assalamu’alaikum Wa rohmatullohi wa barokatuh….”. setelah
semua menjawab salam dan suasana mulai tenang, ia memulai rapat. “Melihat kasus
hilangnya sandal jepit tersebut, kita sebagai anggota remaja masjid Al-Munawar
punya tanggung jawab atas itu. Apakah ada usulan?”.
Semua
terdiam hening tanpa suara. Ku pandangi wajah Siti yang tak berkedip mengamati
wajah Ikhwan, pujaan hatinya. Satu per satu peserta rapat menyampaikan
usulannya. Aku mendengarkan dengan seksama. Suasana mulai tegang. Berbagai
argumen telah dilontarkan. Selang beberapa menit kemudian, aku mencoba
menyampaikan sebuah tak-tik.
“Lapor…
saya ada usulan!”, ucapku sambil mengacungkan tangan.
“Silahkan…”,
jawab Ikhwan sang ketua dengan lembut.
“Bagaimana
kalau kita menggunakan sebuah tak-tik….”,
semua mulai diam mendengarkan dengan seksama, lalu ku lanjutkan kalimat
selanjutnya.
“Kita
sangat membutuhkan bantuan dari teman-teman yang berhalangan, atau lagi
menstruasi. Pada waktu sholat tarawih berlangsung, mereka mengawasi dari
kejauhan. Pengawasan bisa dilakukan di bawah pohon beringin, atau di bawah
pagar. Yang lain tetap sholat seperti biasa. Pada waktu tadarus, yang belum
kebagian giliran jaga-jaga di luar….”, ku akhiri usulanku melihat raut muka
serius dari para peserta.
“Setuju
sama usulan Ais…”, seru Arga sambil mengacungkan jempol, disambung riuh peserta
lain membuatku malu. Ah, gossip antara Arga dan aku sangat menggangguku,
padahal sama sekali kita tidak ada hubungan special apapun. Suasana segera
ditenangkan oleh sang ketua, “Tenang dulu teman-teman…saya setuju dengan usulan
Ais. Bagaimana dengan teman-teman?”, ucapnya sambil melemparkan pandangannya ke
semua peserta. Secara serempak peserta menjawab, “Setuju…!”. Rapat pun masih berlanjut
disusul dengan penyusunan tak-tik dan
pembagian tugas.
Rapat selesai hingga pukul 24.00 WIB. Kami pulang ke
rumah masing-masing membawa tugas esok yang siap kami laksanakan. Ada yang
tetap tinggal untuk ronda menunggu waktu sahur. Fikiran kami mulai dipenuhi
bayangan si pencuri misterius itu segera tertangkap, dan jama’ah masjid kembali
melimpah. Sandal-sandal tak berdosa itu segera kembali. Aku mulai tersenyum
lega, meski sekarang emak sudah membelikanku yang baru namun enggan ku pakai ke
masjid. Aku takut sandalku itu hilang lagi. “Dan esok, Si PS alias Pencuri
Sandal itu akan segera tertangkap”, fikirku lagi penuh harap.
Tarawih
malam ini berjalan seperti biasa. Kebetulan aku dan tiga temanku yang
berhalangan tidak sholat mengawasi situasi sandal di masjid. Rumah ustad yang
terletak dekat masjid tampak sunyi, karena malam itu kami dengar kabar bahwa
salah satu putrinya yang kelainan jiwa sedang sakit. Ibunya tetap di rumah menemani
putrinya yang sakit tersebut. Nyamuk
mulai berdatangan. Di balik pagar ini kami menanti dan terus mengamati. Raka’at
demi raka’at terus berganti. Seruan bilal disambut suara jama’ah menggema
hingga pagar kayu ini, tempat dimana kami, para pahlawan sandal bertengger.
Suasana sekitar sandal masih tetap biasa saja. Tidak ada aroma mencurigakan sama
sekali. Kami mulai bosan menderita gatal-gatal akibat gigitan nyamuk yang
nakal. Ditambah lagi aroma dingin yang menusuk tulang. “Hufh, perjuangan kami
malam ini harus berhasil,maling….di mana kamu?”,fikirku.
Hingga
sholat tarawih berakhir, pencuri itu tidak memperlihatkan batang hidungnya.
Kesal menyeruak dalam dada kami. Mungkin saja pencuri tersebut mengetahui tak-tik kami. Di mana dia bisa tahu? Rencana
kami tidak membuahkan hasil. Di saat lagi kesalnya, kami kaget melihat sosok
berjubah putih di belakang kami. Keringat kami bercucuran, mulut kami terbungkam.
Lemas rasanya saat makhluk itu menyapa kami,
“Allahu
Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar…Laa Ila Ha Ilallahu Wallahu Akbar…Allahu Akbar
Wa Lillahil Hamdu…”.
Suara
takbir menggema menyeruak ke segala penjuru. Malam penuh nikmat yang dinantikan
hadir menumbuhkan kebahagiaan ke sanubari. Ramadhan usai, disusul dengan malam
takbir penuh syahdu. Rumah-rumah penduduk terang benderang memancarkan cahaya
kemenangan. Senyum tulus terukir indah di setiap wajah umat muslim. Harapanku,
kami bisa bertemu dengan Ramadhan berikutnya, amin. Ah, tak terkira
kebahagiaanku malam ini. Meski tanpa baju baru, tapi inilah malam dimana semua
umat islam sedunia mengumandangkan irama takbir beramai-ramai. Seperti mereka
pada umumnya aku pun ingin bersama teman-teman takbir di masjid. Seusai berbuka
dan menata makanan di meja, aku bergegas menuju masjid bersama temanku.
Di
perjalanan kami berbincang-bincang tentang topik kejadian kemarin. Aku dan tiga
temanku terkekeh mengingat kami kemarin kena hukum Pak Ustad. Bukannya
menemukan maling sandal, tapi kita di hukum membersihkan tempat wudhu yang
sudah lama tak pernah dikuras. Kami tak berani membantah. Ah, cerdas sekali
maling tersebut. Pengalaman malam itu tak kan kami lupakan. Di tengah kesal
yang menyeruak di tambah hukuman Pak Ustad yang menguras tenaga, misteri Si
Pencuri Sandal tersebut belum tersibak.
Tibalah
kami di jalan kecil depan masjid. Suasana tampak ramai di bagian teras masjid.
Tampaklah anak Pak Ustad yang kelainan jiwa tersebut di antara puluhan sandal
yang tertata rapi. Dengan wajahnya yang tampak cerah ia meneriakkan suaranya,
“Di pilih-di pilih…sandal bagus. Dari
yang seribu rupiah, hingga seratus ribu rupiah ada. Bagi yang berminat hubungi
saya. Akan mendapat sandal cantik beserta bonusnya, yaitu senyum manis dari
saya…”. Aku dengan ragu melangkah dengan teman-temanku menuju tempat yang
menjadi pusat perhatian tersebut. Tampak para warga yang melihat dengan wajah
prihatin dan tak percaya. Aku pun demikian adanya. Saat ku dekati, mataku
langsung tertuju pada sandal hijau yang tergeletak manis di pojok meja. Dia
seolah-olah memanggilku minta tolong. Aku masih tetap saja terpaku. Ku pandangi
lagi sandal-sandal yang lain. Di bagian paling atas,tampak sandal paling
mencolok berwarna merah. Bisa ku tebak itu sandal Sarah yang dari Hongkong.
Wajah Bu Rokah yang sempat ku curigai mulai terbayang, aku merasa bersalah.
Yang paling bawah dan tampak tak terurus, sandal Siti yang korengan berada.
Hah, aku masih tak percaya beserta korban-korban sandal yang tak berdaya
lainnya. Ku pandangi tiga kata di tulis dengan huruf besar-besar di atas kertas
kardus dan ku baca dalam hati, “SANDAL-SANDAL HAMIDAH”. Cita-cita Hamidah, anak Pak Ustad yang gila
untuk menjadi pengusaha sandal tersebut tercapai pada malam takbir ini.